Catur: pembicaraan; Mungkur: menyingkir. Dalam hal ini ada dua penafsiran tetapi saling mendukung. Penafsiran tersebut bergantung intonasi mengucapannya. Ingat kalimat “Ada jambu monyet”: Bila kita mengatakan “ADA JAMBU, monyet” maksudnya bicara pada monyet bahwa ada jambu. Lain halnya dengan “ada JAMBU MONYET”. Demikian pula halnya dengan “ana catur mungkur”.
Pengertian pertama adalah “ANA CATUR mungkur”. Berarti ada pembicaraan, dan yang dimaksud adalah pembicaraan tidak baik, tentunya mengenai seseorang yang pasti tidak ada di tempat itu. Dengan kata lain, “ngrasani”. Pastilah yang dijadikan topik “rasan-rasan” adalah hal yang kurang baik atau setidaknya dianggap kurang baik oleh yang bicara. Sementara yang bicara juga belum tentu orang baik, karena sudah diberi nasihat para sesepuh” “aja nyatur alaning liyan”, tidak usah membicarakan kejelekan orang lain, mereka tetap saja melakukan demikian. Orang yang tidak suka dengan perilaku seperti itu akan mengambil langkah: lebih baik saya “mungkur” saja. Ia menyingkir ke tempat lain, bicara seperti itu menimbulkan fitnah. Ada yang pindah tempat duduk, ada yang saking pegalnya pergi ke taman burung, mendengar kicau burung. Walaupun mungkin celoteh burung juga sedang nggosip burung yang lain, toh kita tidak tahu bahasa burung.
Pengertian kedua adalah: “ana CATUR MUNGKUR”. Disini jelas “catur mungkur” adalah pembicaraan di belakang orang yang dibicarakan. Sama saja, yang dibicarakan tidak ada di situ. Dilakukan oleh orang-orang yang “wani silit wedi rai” seperti posting saya beberapa hari yang lalu.
Pengertian kedua ini menunjukkan situasi yang terjadi, yaitu CATUR MUNGKUR. Adapun pengertian pertama menunjukkan sikap orang yang berada di situasi itu, ana catur MUNGKUR. Lebih baik pergi daripada terlibat fitnah. Ia mengambil risiko dirinya akan DICATUR juga setelah ia MUNGKUR. Tapi itu pilihan dia. Sebenarnya ia bisa memberi penerangan bahwa nggosip itu tidak baik. Plus menakut-nakuti, kalau diantara kita ada yang “tumbak cucukan” kan diadukan sama yang dirasani. Risikonya terjadi “sulaya”, pertengkaran. Sulaya yang terjadi pasti “waton sulaya”, asal adu mulut dan tanpa penyelesaian. Mungkin nasihat leluhur kita sudah pas. “Mungkur” saja, ke pojok sana, atau menyingkir jauh sekalian, ke somewhere dimana kita dapat menikmati “silence is golden”.
Dalam peribahasa Indonesia kita kenal “Mulutmu harimau kamu”, bahwa mulut kita adalah musuh yang paling besar. Demikian pula dalam bahasa Jawa kita mendengar:
Ucap sakecap kang kelahir tanpa pinikir kerep bae nuwuhake dredah lan bilahi. Mula wetune tembung satembung saka lesan iku prayoga tan udinen aja nganti nggepok prekarane wong liya, gedhene nganti gawe seriking liyan. Bisa nyandhet ucule pangucap kaya mangkono mau wis klebu ewoning pakarti kang utama. Nanging geneya ya kok ora saben wong bisa nglakoni?
TERJEMAHAN: Satu patah kata yang diucapkan tanpa dipikir lebih dahulu sering menimbulkan pertikaian dan bencana. Oleh sebab itu keluarnya kata demi kata dari mulut sebaiknya jangan sampai mengurusi perkara orang lain yang bisa menimbulkan sakit hati. Mampu mencegah lepasnya ucapan seperti itu merupakan salah satu perbuatan utama. Tetapi mengapa tidak semua orang mampu melakukannya? (IwMM)